Rabu, 16 Desember 2015

Menyoal Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum 2013



Menyoal Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum 2013

Perubahan kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi sistem pendidikan di Indonesia. Persoalan tersebut menjadi pembicaraan para pemerhati pendidikan. Kurikulum terbaru yang kini marak dibicarakan adalah kurikulum baru 2013. Pikiran Rakyat (29/11),  menyebutkan bahwa pembelajaran sastra akan memperoleh porsi besar dalam kurikulum baru 2013 lewat mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal tersebut menjadi pemicu bagi guru untuk  lebih memprioritaskan kemampuannya dalam menggauli sastra, sehingga berpotensi menyampaikan materi dan  nilai-nilai sastra dengan menemukan metode dan model sebagai teknik yang efektif untuk menggairahkan siswa dalam menikmati sastra sebagai  rekreasi batin.
Di sinilah, seorang guru dituntut menjadi busur  yang kuat, visioner dan powerful yang dapat  memberikan angin segar  pada situasi yang memungkinkan siswa  dapat  menafsirkan, menilai, menemukan, dan mengkonstruksi apa  yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar sehingga siswa memiliki kebebasan dalam bercurah pikir, berpendapat, berprakarsa, dan berinisiatif dalam pembelajaran sastra.
Dalam hal ini bukan hanya kualitas dan kuantitas guru bahasa Indonesia yang dipersoalkan, rendahnya minat siswa pada sastra itulah yang sebenarnya menjadi tantangan utama pembelajaran sastra di sekolah, dan  kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan serta kualitas buku pelajaran sastra.  Bahkan pembelajaran sastra cenderung dianggap sebagai momok, karena rendahnya minat baca siswa pada buku sastra. Oleh karena itu tugas seorang guru adalah merangsang minat baca siswa. Karena itu setiap guru harus selalu berupaya agar siswanya  gemar membaca.
Persoalan sekarang, apa saja yang perlu dilakukan oleh seorang guru agar benar-benar mampu menjadikan pembelajaran sastra  sebagai media untuk membangun karakter yang menjadi semangat kurikulum baru kita nanti.  Pertama guru bahasa Indonesia harus memiliki minat serius dan talenta yang cukup tentang sastra sehingga mampu menyajikan pembelajaran  sastra dengan baik. Misalnya, dalam pembelajaran  puisi guru dituntut  mampu memberikan contoh yang memikat dan sugestif di depan siswanya saat membaca puisi. Dalam konteks ini, sudah seharusnya guru menjadi the right man on the right place, manusia yang benar ada ditempat yang benar. Artinya guru bahasa Indonesia yang ideal adalah guru yang menjadi bidang, bakat dan spesialisnya.
Sekarang ini, di lapangan banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menempatkan guru tidak pada bidang keahlianya dengan berbagai alasan, misalnya faktor kekerabatan, yang penting bisa ngajar, faktor   penambahan jam, contoh latar belakang pendidikan bukan  guru pelajaran Bahasa Indonesia karena kekurangan jam, maka penambahanya dengan mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, seperti tidak menemukan guru yang sesuai  dengan keahliannya. 
Kedua   guru harus lebih berkonsentrasi dan totalitas dalam mengaktualisasikan kemampuannya, sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran apresiasi sastra yang kondusif, menarik, variatif, interaktif, dan menyenangkan. Ketiga perlu upaya serius meningkatkan kapasitas guru. Apalagi dalam kurikulum baru, peran guru demikian sentral. Misalnya  guru difasilitasi program pelatihan, diklat, dan seminar-seminar  atau materi khusus secara mendalam tentang pembelajaran sastra.
Dalam kurikulum 2013 mendatang pembelajaran  sastra diharapkan  dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Akan tetapi, tentang  pendidikan karakter yang utama adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku yang positif kepada anak-anaknya, guru memberi contoh  kepada  anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter yang baik kepada masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar