Menyoal Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum 2013
Perubahan
kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi sistem pendidikan di
Indonesia. Persoalan tersebut menjadi pembicaraan para pemerhati pendidikan.
Kurikulum terbaru yang kini marak dibicarakan adalah kurikulum baru 2013. Pikiran
Rakyat (29/11), menyebutkan bahwa
pembelajaran sastra akan memperoleh porsi besar dalam kurikulum baru 2013 lewat
mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal tersebut menjadi pemicu bagi guru
untuk lebih memprioritaskan kemampuannya
dalam menggauli sastra, sehingga berpotensi menyampaikan materi dan nilai-nilai sastra dengan menemukan metode dan
model sebagai teknik yang efektif untuk menggairahkan siswa dalam menikmati
sastra sebagai rekreasi batin.
Di sinilah, seorang guru dituntut menjadi busur yang kuat, visioner dan powerful yang dapat memberikan angin segar pada situasi yang memungkinkan siswa dapat
menafsirkan, menilai, menemukan, dan mengkonstruksi apa yang mereka terima sesuai dengan pengalaman
belajar sehingga siswa memiliki kebebasan dalam bercurah pikir, berpendapat,
berprakarsa, dan berinisiatif dalam pembelajaran sastra.
Dalam hal ini bukan hanya kualitas dan kuantitas guru bahasa
Indonesia yang dipersoalkan, rendahnya minat siswa pada sastra itulah yang
sebenarnya menjadi tantangan utama pembelajaran sastra di sekolah, dan kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan
serta kualitas buku pelajaran sastra. Bahkan pembelajaran sastra cenderung
dianggap sebagai momok, karena rendahnya minat baca siswa pada buku sastra. Oleh karena itu tugas seorang guru adalah
merangsang minat baca siswa. Karena itu setiap guru harus selalu berupaya agar siswanya
gemar membaca.
Persoalan sekarang, apa saja yang perlu dilakukan oleh seorang guru
agar benar-benar mampu menjadikan pembelajaran sastra sebagai media untuk membangun karakter yang
menjadi semangat kurikulum baru kita nanti. Pertama guru
bahasa Indonesia harus memiliki minat serius dan talenta yang cukup tentang
sastra sehingga mampu menyajikan pembelajaran sastra dengan baik. Misalnya, dalam
pembelajaran puisi guru dituntut mampu memberikan contoh yang memikat dan
sugestif di depan siswanya saat membaca puisi. Dalam
konteks ini, sudah seharusnya guru menjadi the
right man on the right place, manusia yang benar ada ditempat yang benar.
Artinya guru bahasa Indonesia yang ideal adalah guru yang menjadi bidang, bakat
dan spesialisnya.
Sekarang ini, di lapangan banyak ditemukan lembaga pendidikan yang
menempatkan guru tidak pada bidang keahlianya dengan berbagai alasan, misalnya faktor
kekerabatan, yang penting bisa ngajar, faktor
penambahan jam, contoh latar belakang pendidikan bukan guru pelajaran Bahasa Indonesia karena
kekurangan jam, maka penambahanya dengan mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, seperti
tidak menemukan guru yang sesuai dengan
keahliannya.
Kedua
guru harus lebih berkonsentrasi dan totalitas dalam
mengaktualisasikan kemampuannya, sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran
apresiasi sastra yang kondusif, menarik, variatif, interaktif, dan
menyenangkan. Ketiga perlu upaya serius meningkatkan kapasitas guru. Apalagi
dalam kurikulum baru, peran guru demikian sentral. Misalnya guru
difasilitasi program pelatihan, diklat, dan seminar-seminar atau materi khusus secara mendalam tentang
pembelajaran sastra.
Dalam kurikulum 2013 mendatang pembelajaran sastra diharapkan dapat membantu proses pembentukan karakter
siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, nilai-nilai
budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Akan tetapi, tentang pendidikan
karakter yang utama adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku
yang positif kepada anak-anaknya, guru memberi contoh kepada
anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter
yang baik kepada masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar